Senin, 30 Desember 2013

TAMAN BACA TULIS

SAATNYA JADIKAN BUKU SEBAGAI GAYA HIDUP
Oleh: MR.TM (Muklisin Raya “Tuah Makna”)

Hari ini (05-12-13) saya dan istri pergi ke kampus UIN SUSKA RIAU. Menghadiri wisuda ponakan saya. Dari rumah kami berangkat sekitar pukul 11.30an. Di jalanan cukup macet. Mungkin karena hari ini acara wisuda tersebut. Dan tentunya tidak hanya diramaikan oleh para wisduawan/i tapi juga para tamu undangan yaitu keluraga dan teman-teman meraka yang turut berbahagia dan berbangga di hari ini.
Kami tetap melanjutkan perjalanan menuju UIN. Setelah dapat tempat parkir. Kami pun menuju tempat acara wisuda. Saya tidak hanya sekedar menuju tempat acara wisuda tapi juga “cuci mata”, epss, jangan salah tafsir dulu. Cuci matanya jauh berbeda, yaitu “cuci mata pengusaha”, selalu melihat peluang atau bisnis apa yang bisa digarap. Itulah kalau pengusaha di mana saja selalu cuci mata “peluang usaha”.  Soalnya hari ini di jalan dan trotoar menuju PKM UIN SUSKA disulap jadi pasar kaget. Beraneka ragam usaha, baik makanan, minuman, souvenier dan sampai-sampai ada yang jual siput laut dicat warna-warni, masih hidup tentunya. Wah..orang wisuda ramai, yang jualan juga tidak kalah ramainya.
Begitu banyak dagangan atau usaha yang ada di pasar kaget tersebut hanya ada beberapa jenis usaha atau penjual yang tidak. Yaitu salah satunya jualan atau bazar buku. Walaupun ada saya lihat yang jualan Al-Qur’an, alhamdulliah. Yang menjadi tanda tanya saya adalah bukankah hari ini adalah pengukuhan kaum intelektual, tentunya identik dengan buku atau ilmu. Lalu apa seharusnya ada yang jual buku? Bisa saja harus ada yang mewakili kalaupun tidak ada berarti belum. Ya belum dijadikan sebagai sesuatu yang lebih bermakna untuk diperjual belikan pada moment yang nota benenya acara kaum intelektual apakah itu sebagai kado dari orang-orang tersayang mereka.
Hari ini saya sengaja dan sudah diniatkan membawa kado (bahkan sudah saya biasakan memberi kado dengan buku, terutama kado pernikahan). Kadonya tidak sebuah souvenier yang akan jadi target debu jika dipajang atau bunga yang saya pun belum atau apa artinya pada momen seperti ini manfaatnya lebih jauh. Bagi saya buku jika dijadikan hadiah akan lebih memberi makna, manfaatnya jangka panjang. Misal jika kita memberi seseorang uang dua puluh ribu rupiah akan habis dalam beberapa menit bahkan detik saja. Namun saat kita memberi seseorang sebuah buku, katakanlah itu buku motivasi sukses berwirausaha misalnya, bisa saja buku yang kita berikan sangat bermanfaat dan membawa perubahan yang lebih baik baginya bahkan menjadi jalan suksesnya. Namun bukan berati hadiah lain tidak baik, bisa saja kita berikan buku plus souvenier bingkai photo.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan saya lagi, kira-kira dalam acara seperti wisuda ini berapa orangkah yang berinisiatif memberikan kado berupa buku? Di hari lahir seseorang apakah ada orang yang memberikan hadiah buku, seberapa sering atau berapa orang? Mungkin bisa dihitung jari atau malah sangat langka. Intinya kebiasaan dari sebagian orang dalam memberi kado adalah dalam bentuk benda yang kira-kira membuat seseorang yang diberikan akan senang, bahagia atau bahkan sebaliknya sesuatu yang mubazir, tapi masih jauh dari hal yang bermakna seperti halnya kado berbentuk buku, kaset ceramah dan VCD motivasi.
Nah, dari hal-hal yang kita lihat dan alami selama ini sudah saatnya kita berupaya mengarahkan kebiasaan kita dalam berbagi kado ini pada hal yang lebih bermakna bahkan kita jadikan sebagai gaya hidup. Mulai saat ini “Say it with BOOKS” tidak selalu “Say it with Flower”. Tidak hanya dalam berbagi kado namun dalam semua aspek kehidupan kita. Membeli buku sebagai gaya hidup. Mengoleksi buku sebagai gaya hidup. Membuat pustaka pribadi sebagai gaya hidup. Menghibahkan buku sebagai gaya hidup. Membelikan anak atau teman buku sebagai gaya hidup. Meminjamkan buku sebagai gaya hidup. Dekat dengan buku sebagai gaya hidup. Menulis buku sebagai gaya hidup. Menjual buku sebagai hidup dan mengkampanyekan gaya hidup lebih bermakna dengan buku sebagai gaya hidup. We love BOOKS. We Love Reading.!!


Jumat, 20 Desember 2013

Istighfar dan bertaubat

Istighfar ialah memohon ampunan, sedangkan ampunan ialah penjagaan dan penutup kejelekan dosa. Artinya, Allah menutupi dosa hamba sehingga Dia tidak mengeksposnya di dunia dan menutupinya di akhirat. Bahkan, Dia menghapus siksa dosanya berkat anugrah dan rahmat-Nya. Istighfar kerapkali disebutkan dalam Al-Qur’an. Ia adakalanya diperintahkan, sebagaimana firman Allah, yang artinya, ”Dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil : 20) Seringkali kata istighfar disandingkan dengan kata taubat. Dalam konteks ini, istighfar merupakan ungkapan untuk memohon ampunan dengan lisan, sedangkan taubat sebagai ungkapan pelepasan dosa dengan hati dan anggota badan. Istighfar hukumnya seperti doa. Apabila Allah menghendaki, Dia akan mengabulkan dan mengampuni pelakunya. (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Menjauhi dosa dan maksiat

Mengulang kembali apa yang pernah dikatakan oleh syaikh Ibn ‘Athaillah, “Takutlah bahwa bila kebaikan Allah selalu engkau peroleh pada saat engkau berbuat maksiat kepada-Nya, lambat laut itu akan menghancurkanmu.” Faktor utama yang menghitamkan hati hingga menjadi keras, tumpul dan rusak (hilang) adalah dosa dan maksiat. Ibarat saldo di bank, setiap satu dosa akan menambah saldo direkening hati berupa kekotoran, hitam, maka semakin banyak dosa dan maksiat hati akan semakin hitam. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Setiap mukmin jika berbuat dosa akan muncullah satu noda hitam di hatinya, jika bertaubat dan menjauhinya, dan meminta ampun hatiya kembali bersih, sebaliknya jika selalu bertambah dosa itu, bertambah dosa itu, bertambah pula nodanya hingga penuh berkarat. Sebagaimana yang disebutkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, ‘Sekali-kali tidak bahkan hati mereka berkarat disebabkan oleh apa yang mereka perbuat’.“ (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi). Maka dari itu setiap mukmin wajib meninggalkan maksiat dan bertaubat dari dosa. Kemudian meninggalkan hal-hal yang sia-sia, syubhat dan yang mengundang syahwat. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Di antara kebaikan keislamana seseorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi) Abu Abdillah mengatakan, “Termasuk meninggalkan hal yang tidak perlu, baik perkataan, pandangan, pendengaran, bersikap kasar, berjalan, berpikir dan seluruh gerak anggota lahiriah dan bathin.” Semoga dengan mendapatkan keterangan ilmu dan faedah untuk membersihkan dan menghidupkan hati, sehingga kita kembali mendapatkan hati yang lebih bersinar dengan cahaya ilahi. (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Mengapa Kita Harus Bertaubat?

Mengapa Kita Harus Bertaubat? “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31). Bisa jadi kita pada awalnya mengatakan, “Mengapa saya harus bertaubat, memang apa yang saya lakukan..., kehidupan saya wajar-wajar saja dan dalam keadaan tenang (tidak berbuat dosa).” Sadar atau tidak kita sadari bahwa kita telah banyak melakukan kekhilafan, dan maksiat yang menjadi kumpulan dosa, meski kadang kala kita tidak menyadarinya. Selain Nabi Allah yang ma’sum, semua kita pernah melakukan dosa, ini bukan klaim, tapi kita adalah manusia yang selalu bisa tergelincir setiap saat. Tidakkah kita merasa bahwa kita berdosa? Untuk bisa memahami bahwa manusia ‘pernah berdosa’, contoh sederhana, setiap kita punya orang tua, tepatnya banyak remaja yang durhaka pada orang tuanya. Sungguh durhaka pada orang tua adalah salah satu dosa besar, bukan? Kita harus berhati-hati dengan dosa ini, ini termasuk urutan keempat dosa besar. Tahukan kita bahwa air mata orang tua dan hati ibu yang terluka bisa menyebabkan murka Allah. Padahal kita diperintahkan berbuat baik kepada mereka, Allah SWT berfirman, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14). Kemudian, ada anak yang salah didik akhirnya terjerumus pada obat terlarang, pergaulan bebas, membuat hati orang tuanya hancur. Jadi, apakah semua perkara ini tidak membutuhkan taubat? Yang perlu kita sadari bahwa kemarahan ayah dan ibu bisa menjadi bencana bagi kita, apalagi ketika ditimbang di akhirat. Dan semua itu lebih berat dari dosa-dosa yang kita lakukan satu sampai dua tahun lalu. Maka dari itu, kita pernah bahkan mungkin masih bersarang dalam diri kita dosa-dosa besar tersebut dan menuntut kita untuk bertaubat. Yang menjadi catatan khusus adalah bahwa dosa besar tidak hanya bagi mereka yang doyan mabuk-mabukan dengan miras dan berzina saja, akan tetapi termasuk juga bagi mereka yang durhaka kepada orang tua walau hanya dengan mengatakan “ah” dan menghardik mereka. “Semua dosa ditunda hukumannya hingga hari kiamat. Kecuali, durhaka kepada kedua orang tua. Allah akan menyelenggarakannya sebelum ia mati.” (HR. Dari Abu Bakar). Bukankah meninggalkan shalat wajib itu adalah dosa? Contoh lain, kita tahu bahwa shalat itu wajib. Tapi tidak sedikit muslim yang lalai dan ringan tanpa beban meninggalkannya. Berapa banyak muslim yang tidak pernah shalat shubuh. Bahkan puluhan tahun lamanya. Bukankah shalat shubuh itu juga wajib hukumnya? Yang harus kita ketahui bahwa meninggalakan shalat adalah termasuk dosa besar yang dimurkai Allah. Bukankah shalat adalah tiang agama? Siapa yang meninggalkan berarti meluluhlantakan agamanya sendiri. Merupakan bencana yang besar kalau sampai melalaikan apalagi meninggalkannya. Maka akan memenuhi informasi dari Al-Qur’an tentang “Saqar” yang artinya, “Apakah yang memasukan kamu ke dalam Saqar? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Kami tidak pula memberi makan orang miskin. Kami membicarakan yang bathil dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir : 42-47) Sungguh ayat ini menginformasilam kepada kita bahwa Allah tidak akan meloloskan seorang pun dari mereka yang meninggalkan shalat ini. Maka, wahai saudaraku, saat ini kita masih bernafas, namun pernah lalai dan meninggalkan perintah ini, bukankah ini semua memerlukan taubat? Bukankah memandang yang diharamkan Allah itu berdosa? Jika Allah telah memuliakan sebagian dari kita dengan menjauhkan dosa-dosa besar, lihat lagi apa saja yang kita anggap jadi dosa kecil yang kita santap setiap harinya. Ratusan bahkan ribuan dosa kecil yang bisa terjadi setiap harinya. Coba hitung berapa kali mata kita memandang yang diharamkan Allah? “Dan katakan pada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagimu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.“Dan katakan pada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakan perhiasannya.” (QS. An-Nur: 30-31). Tidakkah termasuk perbuatan dosa jika menyakati hati saudara kita? Berapa kali kata-kata kita menyakati hati saudara kita? Berapa sering kita berprasangka negatif kepada orang lain? Kepada kaum hawa berapa banyak kata-kata ghibah (ghosib) yang kita umbar bagi saudara kita yang lain? Dan bagaiamanakah aurat kita selama ini? Saudariku, bukankah bagi wanita yang selalu membuka rambut dan aurat itu berdosa? “Siapa pun wanita yang melepaskan pakainnya (menampakkan auratnya), bukan di rumahnya (mahramnya) sendiri, maka Allah akan merobek (menghinakannya) tirai kehormatannya (tidak ada penyelamat baginya.)” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim). “Wanita yang berpakain tapi telanjang, berlenggok-lenggok, menyimpang dari agama, kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium baunya surga (jannah).” (HR. Muslim). Bagi wanita yang selalu membuka rambut, dengan gaya pakaian yang gemulai? Semua itu adalah dosa. Mengapa mereka mau melakukannya? Karena semua perkara itu akarnya adalah hati. Jadi jika hati telah hitam bahkan hilang fungsinya, maka manusia tidak akan segan dan malu lagi melakukan dosa. Jadi, bukankah dosa ini perlu taubat nasuhaa? Untuk menemukan hati kita yang hilang lagi ternoda, maka taubat nasuhaa adalah tempat penemuannya. Mengapa kita mencoba menggambarkan prilaku yang menyebabkan dosa-dosa di atas? Ini bukan saling menyudutkan, namu lebih dari itu agar kita menyadari dengan tahu atas dosa-dosa yang kita lakukan hingga kita bisa merasakan manisnya taubat. Seperti yang dikatakan ‘Amru Khalid dalam bukunya “Dengarkan Suara Hati” bahwa jika Anda ingin merasakan manisnya taubat, terlabih dahulu Anda harus merasakan buruknya maksiat dan dosa. Niscaya Anda akan memulainya dengan bertaubat.... Yakinlah saudaraku, dosa kita tidak sedikit. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita terjerumus dalam jurang dosa. Bahkan tanpa merasa menyesal kita melakukan maksiat dan dosa-dosa itu. Saat kita meninggikan suara dan mengatakah “ah” kepada ibu dan ayah. Kadang kita melakukan kerusakan alam dengan tangan kita sendiri hingga timbullah bencana. Maka dari itulah, kita sangat butuh bertaubat dari semua kekhilafan, kesalahan yang pernah kita lakukan, bahkan tidak bisa kita hitung saking banyakknya. Kita perlu dan harus bertaubat segera dari segala dosa yang menghabiskan jatah umur, waktu, energi kita secara sia-sia, bahkan membuat kita lupa Sang Pencipta (Allah). Yang lebih ironisnya lagi kita lupa bersyukur pada-Nya, padahal banyak saudara kita yang tidak seberuntung kita. Bukankah tidak bersyukur juga termasuk dosa dan harus bertaubat? Yang tak kalah penting, kita harus bertaubat atas kelalaian dan menunda taubat. Terlebih lagi bagi yang bergelimang maksiat puluhan tahun. Pada dasarnya jika manusia segera mengakui dosa-dosa mereka dan mereka akan meninggalkannya. Namun yang terjadi sebaliknya adalah mereka lalai dan menunda taubat, bukankah menunda taubat adalah dosa yang butuh taubat nasuhaa? Itulah beberapa alasan yang mewakili mengapa kita harus bertaubat, tidak perlu marah atau terisnggung jika ada sauadara kita yang mengingatkan akan pertaubatan tersebut dan supaya kita beruntung (QS. An-Nur : 31). Bahkan Allah pun mengajak dan menyapa hamba-Nya agar bertaubat karena kasih sayang-Nya kepada manusia, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar, 39 : 53). Hikmah bijak mengatakan, “Ah! Aku berdosa secara rahasia, tidak pernah orang lain mengetahui dosa-dosaku yang mengerikan. Tetapi esok, rahasia dosa-dosaku ditampakkan dan dipertunjukan kepada Tuhanku.” Saudarku, janganlah kita melihat kecilnya dosa, karena bisa jadi dosa kecil itu jika dilakukan terus menerus akan menjadi besar, “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu akan berkumpul atas seseorang hingga mampu menghancurkannya.” (HR. Ahmad). Dan orang shaleh berkata, “Janganlah melihat kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berdosa? (tentunya dosa terhadap Allah).” (Ust. Tajuddin Nur, Lc & MR.TM)

5 racun hati

Ada 5 racun hati yang banyak tersebar dan membahayakan kehidupan hati. Racun hati tersebut adalah: 1.Bicara berlebihan Lisan termasuk nikmat Allah yang paling agung dan ciptaan-Nya yang paling aneh, lembut nan ajaib. Dari lisan bisa dihasilkan ketaatan atau dosa. Barangsiapa yang tidak menjaga lisannya dengan baik, lalu ia terperangkap dalam tipu daya setan, maka lisan akan menjerumuskannya ke neraka. Mu’adz bin Jabal pernah bertanya, ”Ya Rasulullah apakah kami dihukum akibat perkataan kami?” Beliau menjawab,”Bagaimana kamu ini wahai Ibnu Jabal, tidaklah manusia dicampakkan ke dalam api neraka kecuali karena akibat lidah mereka.” (HR. Tirmidzi). Manusia menanam kebaikan dan keburukan dengan perkataan dan perbuatan, lalu ia akan menuai apa yang ia tanam pada hari kiamat. Secara lahir, hadits Mu’adz tersebut menunjukkan apa yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, yaitu perkataan dengan lisan. Sebab, dalam maksiat perkataan, terkadang kesyirikan masuk di dalamnya. Padahal, syirik adalah dosa yang paling besar di sisi Allah. Dalam hal ini, masuk pula perkataan tentang Allah tanpa dasar ilmu yang merupakan teman dekat kesyirikan. Selain itu, masuk pula kesaksian palsu, sihir, menuduh berbuat zina kepada muslimah, dan sebagainya yang termasuk dosa-dosa besar dan kecil. Misalnya, dusta, ghibah, mengadu domba, dan semua maksiat yang bersifat perbuatan yang pada umumnya disertai perkataan untuk mendukungnya. Rasulullah SAW juga bersabda, yang artinya, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Hadits ini merupakan salah satu Jawani’ Al-Kalim (perkataan yang singkat tetapi sarat makna) yang dimiliki beliau. Dalam sebuah Atsar, Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, ”Demi Allah yang tidak ada illah yang wajib diibadahi selain Dia, tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk terus dijaga selain lisanku.” Pada kesempatan kali ini akan dibahas beberapa penyakit lisan yang marak terjadi, yaitu bicara yang tidak berguna, ghibah, adu domba, dan pujian. Bagi seorang hamba, setiap hembusan nafasnya adalah modal utamanya. Sehingga, melakukan pembicaraan yang tidak berguna merupakan ciri kebodohannya dalam mempergunakan waktu. Nabi SAW bersabda, yang artinya, ”Di antara (tanda) kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR. At Tirmidzi). Adapun maksud yang paling kuat dari ”meninggalkan sesuatu yang tidak berguna” ialah menjaga lisan dari pembicaraan yang sia-sia. Atha’ bin Abi Rabbah berkata, ”Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (para sahabat Nabi) membenci bicara berlebihan. Mereka menganggap semua ucapan berlebihan, selain Kitabullah Azza wa Jalla, Sunnah Rasulullah SAW, amar ma’ruf atau nahi munkar, atau membicarakan keperluan hidup yang memang harus dilakukan. Penyakit lisan lainnya yaitu ghibah. Rasulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan Abu Hurairah, beliau bertanya kepada para sahabat, ”Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka menjawab,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, yang artinya, ”Yaitu, engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang tidak disukainya.” Seseorang bertanya, ”Bagaimana jika apa yang aku bicarakan memang ada padanya?” Beliau bersabda, ”Jika apa yang engkau bicarakan itu memang ada pada saudaramu, berarti engkau telah mengghibahinya, dan jika tak ada padanya, berarti engkau telah melontarkan tuduhan dusta kepadanya.” Kemudian Allah membuat perumpamaan tentang ghibah, yang artinya, ”...Sukakah seseorang dari kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati...?Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya...” (QS. Al-Hujurat : 12). Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah sama dengan pelakunya. Ia tidak bisa lepas dari dosa ghibah, kecuali jika ia mengingkari dengan lisannya. Apabila ia takut, ia bisa mengingkari dengan hatinya. Namun, jika ia mampu mencegah atau mengalihkan pada pembicaraan yang lain, hal itu wajib ia lakukan. Selain itu, namimah (adu domba) juga menjadi penyakit lisan yang berbahaya. An Namimah ialah mengalihkan pembicaraan di antara manusia dengan tujuan merusak dan mengobarkan permusuhan serta kebencian. Adu domba merupakan akhlak tercela karena mendorong terjadinya fitnah, pemutus hubungan, penanam kedengkian, dan menceraiberaikan persatuan. Kemudian, pujian juga termasuk penyakit lisan yang berbahaya, berkaitan dengan orang yang memuji dan dipuji. Bahaya yang berkaitan dengan orang yang memuji ialah, terkadang ia berlebih-lebihan dalam memuji, yang ujung-ujungnya semua itu bohong. Naifnya, kadang ia memuji orang yang sepatutnya dicela. Pujian juga memiliki bahaya bagi orang yang dipuji. Karena, terkadang pujian bisa menyebabkannya sombong dan ujub (kagum pada diri sendiri), yang merupakan dua hal penyebab kerusakan. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda ketika mendengar ada orang yang memuji seseorang, yang artinya,”Celakalah engkau. Engkau telah memenggal leher saudaramu itu.” 2.Memandang berlebihan Memandang secara berlebihan adalah melepaskan pandangan terhadap sesuatu dengan sepenuh mata dan melihat pada sesuatu yang tidak diperbolehkan. Adapun bahaya pandangan yang berlebihan ialah: Pertama, pandangan yang berlebihan adalah maksiat dan menyelisihi perintah Allah. Karena, Allah telah berfirman dalam QS. An-Nur : 30, yang artinya, ”Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, ’Hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Kedua, menceraiberaikan dan menjauhkan hati dari Allah. Ketiga, bisa melemahkan hati dan membuatnya sedih. Keempat, menjadikan hati gelap. Bila hati sudah gelap, berbagai cobaan dan kejelekan akan menimpanya dari segala penjuru. Bisa berbuat bid’ah, sesat, menuruti hawa nafsu, menjauhi petunjuk, dll. Kelima, pandangan berlebihan bisa mengeraskan hati dan menyumbat pintu ilmu. Keenam, mempersilahkan setan masuk ke dalam hati. Sebab, setan masuk ke dalam hati bersama pandangan. Ketujuh, melepaskan pandangan bisa menjerumuskan hamba ke dalam kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu. Kedelapan, sesungguhnya pandangan memiliki peran dalam hati layaknya anak panah dalam memanah. Jika ia tidak mematikan, setidaknya akan melukai. Orang yang melihat seperti itu seperti melempar anak panah yang berbalik kepada dirinya sendiri, namun ia tidak merasa. Orang tersebut sebenarnya memanah hatinya sendiri. Kesembilan, mengakibatkan penyesalan, keluh kesah, dan kepanasan. Kesepuluh, ia bisa melukai hati, yang diikuti luka demi luka. Kesebelas, bisa meredupkan cahaya bashirah (mata hati). Kedua belas, bisa menjerumuskan hati dalam kehinaan mengikuti hawa nafsu, menyebabkan hati lemah, serta jiwa hina dan rendah. Ketiga belas, bisa menjerumuskan hati menjadi tawanan syahwat. Dan keempat belas, kian menguatkan kelalaian kepada Allah dan negeri akhirat, serta menyebabkan terombang-ambing dalam kerinduan. 3.Berlebihan dalam bergaul Kaidah positif dalam hal pergaulan ialah: Hendaknya manusia bergaul dalam kebaikan, seperti dalam shalat Jum’at, shalat jama’ah, hari raya, haji, mempelajari ilmu, jihad, dan nasihat. Selain itu, jauhilah mereka dalam hal kejelekan dan berlebih-lebihan dalam perkara mubah. Kalau terpaksa bergaul dengan mereka dalam kejelekan, sementara tidak mungkin untuk menghindar, maka berhati-hatilah, jangan sampai bersepakat dengan mereka. Senantiasalah berlindung kepada Allah, berzikir kepada-Nya, dan menjauhi perkara-perkara yang merusak. Kemudian, dalam bergaul hendaknya kita memilah manusia menjadi empat macam, yaitu: Pertama, teman bergaul sebagaimana makanan yang dibutuhkan setiap hari. Mereka ialah para ulama yang mengetahui Allah, perintah-Nya, tipu daya musuh-Nya, serta penyakit-penyakit hati berikut obatnya. Mereka ialah orang-orang yang memberi nasihat bagi Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, dan semua makhluk-Nya. Banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari pergaulan semacam ini. Kedua, teman bergaul sebagaimana obat yang dibutuhkan ketika sakit. Mereka ialah orang-orang yang perlu dipergauli demi kemaslahatan hidup dan memenuhi keperluan. Misalnya, ragam jenis interaksi, persekutuan, konsultasi, berobat, dan sebagainya. Ketiga, teman bergaul sebagaimana penyakit dengan ragam jenis tingkatan, kekuatan, dan kelemahannya. Yaitu orang yang tidak menguntungkan baik dari segi Din dan dunia atau salah satunya. Keempat, teman bergaul yang membawa kerusakan. Mereka adalah para pelaku bid’ah, sesat, dan menolak Rasulullah SAW, tetapi mengajak selainnya. 4.Makan berlebihan Menurut penelitian, perut merupakan sumber syahwat, penyakit, dan bahaya. Sebab, syahwat perut akan diikuti oleh syahwat kemaluan, syahwat makanan, serta ambisi terhadap kedudukan dan harta--keduanya merupakan sarana untuk memperbanyak makanan, harta, dan pangkat. Jika hamba menundukkan jiwanya dengan lapar dan menyempitkan jalan setan, niscaya ia akan tunduk untuk menaati Allah dan tidak menapaki jalan kesombongan dan kesesatan. Luqman pernah berkata kepada anaknya, ”Wahai anakku, jika lambung penuh dengan makanan, maka pikiran akan tidur, hikmah akan bisu, dan semua anggota tubuh berhenti dari aktivitas ibadah.” Di antara faedah lapar yang paling agung ialah bisa mengalahkan syahwat untuk perbuatan maksiat dan menguasai nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan. Karena, biang semua perbuatan dosa ialah syahwat dan kekuatan. Sementara itu, sumber kekuatan dan syahwat ialah makanan. Pada saat lapar, seseorang akan lemah dan tunduk kepada Rabb-nya, serta tetap di atas kelemahan dan ketundukannya. 5.Tidur berlebihan Tidur yang berlebihan bisa mematikan hati, menjadikan badan berat, menyia-nyiakan waktu, serta menyebabkan sering lalai dan malas. Tidur ada yang sangat makruh serta ada yang berbahaya dan tidak bermanfaat bagi tubuh. Kategori tidur sebagai berikut : -Adapun tidur yang paling bermanfaat adalah ketika seseorang amat membutuhkannya. -Tidur pada awal malam lebih bermanfaat daripada tidur pada akhir malam. -Tidur pada pertengahan siang lebih bermanfaat daripada tidur pada pagi dan sore hari. -Tidur di antara waktu shalat Subuh dan terbitnya matahari makruh hukumnya. Sebab, itu adalah waktu yang amat berharga, permulaan dan kunci-kunci siang, waktu turunnya rezeki, memperoleh bagian, dan tersebarnya berkah. -Di antara tidur yang tidak bermanfaat lainnya adalah tidur pada awal malam setelah matahari terbenam. Bahkan ia menjadi makruh secara syar’i dan tabiat lantaran Rasulullah juga membencinya. Sebagaimana halnya banyak tidur bisa menyebabkan terjadinya bahaya, maka meninggalkannya sama sekali juga menimbulkan bahaya seperti memperburuk watak, menyebabkan jiwa tidak stabil, mengeraskan pemahaman dan amal, serta mengakibatkan ragam penyakit yang tak bermanfaat pada hati dan tubuh pelakunya. Oleh sebab itu, hal yang terbaik adalah dengan menjaga keseimbangan antara keduanya. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk tetap menjaga hati dari racun-racun yang siap menghancurkannya. (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Ridha Orang Tua, Ridha Allah Juga

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun] bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14) Kita lahir di dunia disambut dengan syukur, disambut dengan suara adzan atau iqomah. Betapa bahagianya orang tua kita atas kelahiran kita. Ibu yang berjuang; mengandung dalam keadaan yang semakin lama semakin lemah, Ibu melahirkan kita antara hidup dan mati, namun setelah kita lahir semua rasa sakit itu sirna dari Ibunda kita. Ibu dan Ayah sangat bahagia menyambut kelahiran kita. Ibu menyapih kita, mendidik, Ayah yang begitu sayang selalu memberikan nafkah yang terbaik bagi buah hatinya. Di saat kita kecil, Ibu yang menjaga kita, menyusui, membersihkan kotoran kita, memandikan, memberi makan, menyiapkan segala sesuatu yang kita butuhkan. Saat Ibu dan Ayah tertidur lelap di tengah malam, mereka segera bangun ketika kita menangis, mereka rela berjaga ketika kita sakit. Saat usia kita beranjak remaja, mereka mengantarkan kita ke sekolah, pagi-pagi Ibu selalu sibuk menyiapkan peralatan sekolah, memberi kita uang jajan, saat jauh mereka selalu mengirimi uang dan do’a. Terkadang makan tak enak, tidur tak nyenyak mereka rasakan ketika mengingat buah hati yang jauh di pelupuk mata. Sungguh besar pengorbanan orang tua kita. Ibunda yang tercinta telah berkorban, dari mengandung, melahirkan, menyapih, membesarkan dan mendidik. Alangkah mulia jasamu, alangkah indah kasihmu sepanjang masa. Ibunda dan Ayahanda..telah banyak memberi dan berkorban untuk buah hatimu, kasih sayangmu, pengorbananmu dengan airmata, peluh, darah, harta, bahkan nyawa engkau pertaruhkan. Ananda tak sanggup membayangkan, bahkan air mata ini deras mengalir ketika harus mengingat jasa-jasamu, ketika Ibunda dan Ayahanda berdiri di tengah teriknya panas, bercucuran keringat, tak peduli hujan, panas dan badai. Yang ada dalam hati Ibunda dan Ayahanda adalah supaya anak-anakmu tetap bisa menuntut ilmu. Ananda sadar, meski Ananda merubah tanah menjadi emas, lautan dipenuhi mutiara, maka Ananda takkan sanggup membalas jasa Ibunda dan Ayahanda. Namun, Ananda menyadari bahwa Ayahanda dan Ibunda menginginkan anak yang shaleh, berbakti serta bermanfaat bagi agama dan bangsa. Wahai diriku, saudaraku, bagaimanakah seharusnya sikap kita terhadap kedua orang tua kita. Kita adalah titipan Allah, yang dititipkan pada kedua orang tua kita. Kalau kita berbakti kepada mereka dalam pengabdian pada Allah, maka kita juga berarti berbakti pada-Nya. Karena setelah perintah beriman kepada Allah diiringi perintah berbakti kepada kedua orang tua. Jelaslah keridhaan orang tua juga keridhaan Allah. Jika durhaka kepada orang tua, mengatakan kata-kata yang menyakiti hati mereka, itu adalah perbuatan dosa besar dan durhaka juga pada Allah. Jangankan berkata kasar, karena berkata ‘ah’ saja dilarang, apalagi ada di antara anak-anak yang tidak tahu balas budi, yang tega membentak orang tuanya dan malah kasus yang sering kita dengar anak membunuh orang tua. Sungguh besar kemurkaan Allah dan azab yang disegerakan adalah durhaka kepada kedua orang tua. Maka jalan mulia adalah berbakti dan berbuat baik terhadap mereka, katakanlah perkataan yang lemah lembut, buatlah mereka bahagia, seperti di masa kecil kita yang suka menangis, merekalah yang selalu membujuk. Kalau kita sudah berkeluarga, seringlah menjenguk mereka, berilah sesuatu yang terbaik pada mereka. Janganlah istri atau suami menjadikan kita durhaka pada kedua orang tua. Bukankah Ibu yang melahirkan kita, bukankah mereka yang menjaga, membesarkan, mendidik, memberikan nafkah yang halal kepada kita? Apakah ‘durhaka’ yang kita berikan kepada mereka setelah apa yang mereka lakukan pada kita? Tidak, tidak wahai diriku, saudaraku, kita harus membahagiakan mereka, biarkan mereka tersenyum lebar saat melihat kita membuktikan rasa cinta dan keberhasilan mereka mendidik kita. Ya, jangan terlambat untuk mengatakan terimakasih dan cinta luar biasa pada mereka berdua, buktikan sekarang juga. Jangan menunggu mereka dipanggil sang Khalik, kita akan menyesal selamanya jika kita tak sempat membuktikan keberhasilan dan cinta kita pada mereka. Muhasabah : Wahai diriku, berapa kalikah engkau menyuapkan makanan untuk kedua orang tuamu ketika mereka sakit atau uzur? Atau mungkin lebih banyak mengatakah “ah” dan membantah atau durhaka kepada mereka? Ingatlah dosa-dosa kita terhadap kedua orang tua kita; ibu yang telah mengandung 9 bulan dengan susah payah, antara hidup dan mati. Ibu yang menggendong, menyapih, menyusui, memberikan kasihnya. Sangat naif, sesudah dewasa dan sudah punya suami atau istri, malah kita menyakiti hatinya dengan ucapan dan tindakan kita dan merasa malu membawanya. Jangan lupa juga ayah kita dengan keringatnya susah payah mencari nafkah. Setiap hari kita meminta uang jajan kepadanya, meminta membelikan hal-hal yang tidak wajar dan kita memamerkan kepada teman-teman kita, padahal ayah kita dalam kesusahan, di mana rasa malu kita? Tidakkah kita menyadari bahwa itu salah satu dosa besar yang akan mendapat murka Allah baik di dunia dan di akhirat. Renungkanlah, sudah berapa banyak kita bisa mengucapkan kata ‘terimakasih’ pada mereka saat mereka memberikan cinta dan kasih sayang pada kita. Bahkan mungkin berat bagi kita mengatakan terimaksih, mungkin jarang kita ucapkan pada mereka, sementara kita selalu mengucapkan terimakasih pada orang lain. Renungkan lagi, berapa sempat kita membersihkan pakaian mereka, memandikan mereka saat mereka sudah tua renta, menyuapkan mereka sekali saja seumur hidup mereka? Tahukah kita, saat kita kecil, mereka yang membersihkan kotoran kita, memandikan kita, menggantikan pakaian kita, menyuapkan kita? Apakah kita tidak terpikir berbuat demikian pada mereka? Tanyakan hati, tanyakan air mata, di mana rasa itu? Lakukan yang terbaik mulai detik ini, pernahkah kita memeluk keduanya, mencium pipinya, mencium tangan atau kakinya? Tapi kenyataan dari kita selalu mendikte mereka, membentak mereka, meminta sesuatu di luar batas kemampuan mereka. Wahai diriku, jika mereka masih ada, maka bersegeralah meminta maaf, mohonkan keridhaan mereka, agar hidup kita menjadi mudah dan selamat. Namun jika mereka telah pergi, telah dijemput sang Khalik, maka satu-satunya cara, jadilah anak yang shaleh, do’akan mereka dengan air mata cintamu. Ya Allah ya Karim, kami yang dhaif ini, kami sebagai anak namun sangat zalim bahkan pernah durhaka kepada kedua orang tua kami. Hanya ampunan-Mu yang bisa membantu kami, kasihanilah kami jika belum bisa berbuat baik seutuhnya kepada mereka, “Kasihilah kedua orang tua kami, masukanlah mereka ke dalam Jannah-Mu.” (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Kamis, 19 Desember 2013

Penyelamat dari Allah Untukku!

Telaga Hikmah Kisah :
Aku mahasiswa Fakultas Hukum di Cairo University. Umurku dua puluh lima tahun. Saat itu aku masih kuliah d semester empat. Dengan umurku yang dua puluh lima tahun, dan aku masih duduk di semester empat; tentu itu adalah hal yang aneh. Namun, itulah yang akan aku ceritakan. Suatu saat, terjadi perpecahan (pertengkaran yang berbuntut pada perceraian) dalam keluargaku. Perpecahan itu tentu sangat mempengaruhiku secara pribadi. Perilaku ayahku sangat keras. Ibuku tidak ada di sampingku. Sosok ibu sangat berperan dalam kehidupan anak-anaknya. Sementara aku termasuk tipe anak yang bergantung pada sosok ibu. Ketidakbetahanku tinggal di rumah dan masalah-masalah yang selalu mengekoriku menjadikanku berontak dan pergi meninggalkan rumah. Aku melewati hari-hariku dengan penuh pemberontakan dan keterasingan yang sangat dalam. Aku tidak punya tempat tinggal dan uang untuk kubelanjakan. Seluruh hidupku dalam pemberontakan yang sebenarnya, hingga aku tidur di jalanan dan di taman-taman. Aku hadapi semuanya untuk menemukan jati diriku; untuk menemukan hidup yang lain selain hidup yang aku jalani, yaitu hidup dalam pemberontakan dari rumah dan keluarga. Aku mengidap penyakit radang paru-paru kerena sering berada di jalanan. Aku berusaha untuk bunuh diri dengan obat yang telah diberikan dokter kepadaku. Aku menelan empat puluh butir obat sekaligus. Sebenarnya, itu sudah cukup untuk mencabut nyawaku, tetapi ternyata aku tidak kunjung mati. Sangat disayangkan, saat itu aku tidak dekat kepada Allah ataupun mengenal-Nya. Aku mulai kecanduan obat-obatan terlarang dan minuman keras. Itulah kesalahan yang banyak dijadikan tempat bergantung sebagian besar anak muda saat ini. Saat di mana ia tidak menemukan jati dirinya dan tidak juga menemukan seseorang untuk menjadi tempat berbagi. Pada saat itulah ia akan bergantun pada sesuatu yang menjauhkan akalnya dari berpikir tentang hidup yang dijalaninya. Saat aku mulai bekerja, aku bisa memenuhi semua kebutuhanku. Harta begitu mudah kudapatkan. Itulah yang menyebabkanku semakin terpuruk dalam kesesatan dan keterasingan. Aku tidak menghadapkan diriku untuk sesuatu yang menantang. Cukuplah bagiku tetap duduk kuliah di semester empat hingga sekarang; terlampat empat tahun dari teman-teman seangkatanku. Aku mempunyai tanggung jawab, tidak pula memperoleh kedudukan terhormat dalam masyarakat. Aku berusaha memperbaiki hidupku dengan berbagai cara. Namun, saat itu aku jauh dari Allah, hingga aku pun tidak bisa memperbaiki hal sekecil apapun dalam hidupku. Aku mulai kecanduan. Obat-obatan (narkoba) telah menjadi kebutuhanku sehari-hari, bahkan narkoba lebih aku butuhkan daripada makanan, minuman dan hidup itu sendiri. Akhirnya, Allah pun menirimkan penyelamat untukku. Salah seorang temankku mengajakku untuk melaksanakan syalat Isya’ di sebuah Masjid. Sebenarnya, aku tidak ingin ikut shalat bersamanya. Aku berusaha menolak dan meminta maaf padanya. Namun, jika Allah SWT berkehendak, ia cukup mengatakan “Jadilah,” maka terjadilah. Tidak ada seorang pun yang bisa mengubah tetentuan-Nya. Itulah langkah awal yang membuatku dekat kepada Allah. Aku memasuki masjid, shalat Isya’ dan mendengarkan ceramah. Segala yang pernah kulakukan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jiwaku. Aku mulai mengintrospeksi diri dan mulai memperbaiki kehidupanku. Aku rajin mengikuti pengajian dan ceramah-ceramah agama, serta mendirikan shalat secara rutin. Aku melihat dan merasakan bagaimana manusia bisa beristirahat dengan tenang dan berbahagia saat berdekatan dengan Allah SWT, selalu berada dalam ikatan dan ketaatan kepada-Nya. Aku pernah gagal dalam usahaku memperbaiki diri itu. Salah seorang teman lamaku kembali mengajakku minum minuman keras dan memakai obat-obatan terlarang. Aku mengikutinya. Aku kembali terjerumus dalam dosa-dosa. Akan tetapi, tiba-iba aku menjadi tersadar kembali. Ketika aku hendak pergi ke masjid, aku merasa seolah Allah tidak akan menerimaku lagi, serta tidak mengizinkan memasuki masjid. Detik itulah, aku berjanji untuk tidak kembali mengulang maksiat-maksiatku kepada Allah. Aku berjanji tidak akan mendengarkan perkataan-perkataan yang dapat menyebabkan aku kembali pada minuman keras dan obat-obatan terlarang. Aku sadar bahwa hukuman Allah sangatlah dekat waktunya. Aku menganggap diriku adalah orang yang paling bahagia. Hari-hariku menjadi indah sejak aku bertaubat dan kembali kepada Allah SWT. Aku tidak menghitung hari-hari yang berlalu dariku, karena sebenarnya aku telah menggantinya. Saya bertanya kepada pemuda itu, “bagaimana Anda bisa sembuh dari kecanduan obat-obatan?” Jawabannya pasti, “Pengobatan dari Allah.” Aku beri’tikaf (menetap di masjid sambil beribadah dan berzikir) selama tiga puluh hari lamanya. Dalam i’tikaf itu, aku mengalami hal-hal yang sangat aneh. Pada sepuluh hari pertama, aku selalu pergi ke kamar mandi. Seolah obat-obatan itu keluar dari tubuhku. Selama ini, aku tidak pernah mendapati seorang pun yang berobat dengan cara seperti itu. Seakan-akan Allah mengatakan kepadaku, “Kamu bersamaku, Aku akan mengobatimu dengan cara yang sama sekali tidak akan menyebabkan kamu merasa letih dan susah, dan kamu tidak akan kesulitan –walaupun kamu telah menderita kecanduan– untuk menjauhinya, baik dari segi jasmani maupun rohani”. Allah SWT telah memuliakanku, saat aku berada di rumah-Nya. Alhamdulillah. Setelah kembali dari pergolakan yang panjang, aku mulai menyayangi keluargaku. Aku mulai meminta restu dari mereka dan tidak lebih. Aku tidak memikirkan materi sebanyak pikiranku pada agama. Aku berpikir dan telah mendapati bahwa yang terpenting dalam hidupku adalah beribadah kepada Allah saja dan berbakti kepada orang tua serta mendapat restunya. Seandainya aku taat kepada Allah, sedangkan orang tuaku masih belum ridha kepadaku, aku merasa seolah aku tidak berbuat ketaatan sama sekali, atau ketaatanku akan sia-sia belaka. Sari hikmah : Setetes air mata seorang ibu dan amarah seorang ayah dalam ukuran kejahatan boleh jadi sama kadarnya dengan kejahatan kita selama setahun lamanya. Terkadang kita tidak mampu membayangkan hal tersebut. Pemuda yang setiap tahun mengalami kegagalan dalam kuliahnya tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana kesedihan yang dirasakan ayah dan ibunya. Padahal, itu adalah maksiat pertama yang tidak ada akhirnya. Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati. Jika orang tua Anda meninggal dunia dalam keadaan marah kepada Anda, sudah pasti Anda akan hidup dalam kesengsaraan dan keputusasaan. Hanya Allah saja yang mengetahui, apakah Dia akan menerima taubat Anda atau tidak? (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Libatkan diri Anda dalam kegiatan yang bermanfaat

Salah satu dari realisasi mengisi waktu luang adalah memiliki inisiatif untuk memanfaatkannya dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bisa membangun kepribadian yang dinamis. Dorongan ini timbul dari sebuah inisiatif, inspirasi dalam diri untuk memulai lebih awal dengan melihat peluang yang mungkin diperoleh oleh seseorang. Inisiatif inilah yang sangat dibutuhkan oleh orang sukses dalam mengatasi rasa malas ketika berdiam diri karena dengan melibatkan diri dalam suatu kegiatan, secara otomatis peluang untuk berteman dengan malas akan menipis dan hilang. Ambillah inisiatif dan kebijakan terhadap diri Anda untuk berperan dalam kegiatan bermanfaat. “Jadilah inisiator atau pelopor penggerak dan laksanakan. Jadilah sukarelawan. Perlihatkan Anda mempunyai kemampuan dan ambisi untuk berbuat.” (David J Schwartz). Inisiatif inilah yang diadopsi oleh orang-orang besar, pahlawan dan pendiri-pendiri bangsa dan negara ini. Misalnya, sang proklamator, mereka telah mengambil inisiatif sebagai partner perjuangannya hingga mereka berani berjuang untuk merdeka. Mereka memang pelopor sejati. Mereka telah melibatkan diri dan kehidupannya dalam hal dan kegiatan yang sangat besar. Bukan mimpi jika bangsa ini merdeka dulu. Mereka dan kita telah membuktikan. Sang inisiator telah berjuang dan sebagai pahlawan, bagaimana dengan kita? Ini memang membutuhkan pikiran dan berjiwa besar. Kita harus bersedia membiasakan jiwa kita menjadi besar, kepala terangkat harga diri terhormat. Apabila manusia memiliki jiwa yang besar, pekerjaan yang besar dianggap kecil. Apabila manusia memiliki jiwa yang kecil, pekerjaan yang kecil dianggap besar. (Prof. Dr. Buya Hamka).

Berbuat positif

Berbuat positif Fauzan Ibrahim (1993) dalam tulisannya Stres dan Upaya Pencegahannya, menjelaskan secara gamblang menurut para ahli tentang berbuat positif dan dampaknya bagi kehidupan nyata. Fauzan mengatakan bahwa berbuat sesuatu yang positif walaupun kecil. Melakukan sesuatu yang baik akan memupuk keyakinan diri. Berikut ini penjelasannya secara singkat. Dr. Alberlt Ellis menyarankan, untuk mengusir stres atau malas antara lain dengan menghindari berpikir salah. Misalnya problem yang dihadapi itu sangat berat, menghindari problem yang dihadapi lebih baik dari pada memecahkannya, seperti mengharap semua orang menyenangi atau menyayangi, menghasilkan tetapi diluar target, juga berpikir tidak pernah berbuat salah. Dalam bukunya Learn to Relax. Dr. Walker, memberi saran, untuk berolahraga secara teratur, rekreasi, merubah rutinitas menjadi hal yang bervariasi, karena akan mengurangi ketegangan jiwa. Mengerjakan ibadah, seperti shalat, menurut Dr. William Pakker dalam bukunya Prayer can Change Your Life, Shalat: “memberikan manfaat bagi kesegaran jasmani.” Demikian juga Dr. Allan Coot dalam bukunya Fasting as a Way of Life, menyarankan agar : “berpuasa bila seseorang menghadapi masalah, berpuasa akan menghasilkan orang-orang yang optimis.” Hasil penelitian yang dilakukan di Moscow Institute of Psychialtry, menyebutkan : “puasa dapat menyembuhkan penyakit jiwa.” Salah satu penyakit jiwa dan hati adalah penyakit malas yang katanya tidak ada obatnya. Sesuai fakta, obat malas memang tidak berbentuk obat-obatan di pasaran, tapi berbentuk dorongan jiwa yang sedang Anda konsumsi saat ini. dari buku Berani Maju Tanpa Rasa Malas, karya Muklisin Raya TM

Rabu, 18 Desember 2013

MENULIS ITU SEPERTI MENGENDARAI TRUK

SEJUTA MOTIVASI -BILL GATES-

THINK BOS

Orang Bodoh Cari2 Kerja Tidak Dapat, Lalu Buka Usaha, pada saat Usahanya Berhasil lalu Memperkerjakan orang2 pintar ( Bob sadino ). Orang-orang terkaya di dunia mencari dan membangun jaringan. sedangkan Orang-orang lainnya, hanya sekedar mencari pekerjaan (Robert T. Kiyosaki).

SAATNYA JADIKAN BUKU SEBAGAI GAYA HIDUP

Oleh: MR.TM (Muklisin Raya “Tuah Makna”) Hari ini (05-12-13) saya dan istri pergi ke kampus UIN SUSKA RIAU. Menghadiri wisuda ponakan saya. Dari rumah kami berangkat sekitar pukul 11.30an. Di jalanan cukup macet. Mungkin karena hari ini acara wisuda tersebut. Dan tentunya tidak hanya diramaikan oleh para wisduawan/i tapi juga para tamu undangan yaitu keluraga dan teman-teman meraka yang turut berbahagia dan berbangga di hari ini. Kami tetap melanjutkan perjalanan menuju UIN. Setelah dapat tempat parkir. Kami pun menuju tempat acara wisuda. Saya tidak hanya sekedar menuju tempat acara wisuda tapi juga “cuci mata”, epss, jangan salah tafsir dulu. Cuci matanya jauh berbeda, yaitu “cuci mata pengusaha”, selalu melihat peluang atau bisnis apa yang bisa digarap. Itulah kalau pengusaha di mana saja selalu cuci mata “peluang usaha”. Soalnya hari ini di jalan dan trotoar menuju PKM UIN SUSKA disulap jadi pasar kaget. Beraneka ragam usaha, baik makanan, minuman, souvenier dan sampai-sampai ada yang jual siput laut dicat warna-warni, masih hidup tentunya. Wah..orang wisuda ramai, yang jualan juga tidak kalah ramainya. Begitu banyak dagangan atau usaha yang ada di pasar kaget tersebut hanya ada beberapa jenis usaha atau penjual yang tidak. Yaitu salah satunya jualan atau bazar buku. Walaupun ada saya lihat yang jualan Al-Qur’an, alhamdulliah. Yang menjadi tanda tanya saya adalah bukankah hari ini adalah pengukuhan kaum intelektual, tentunya identik dengan buku atau ilmu. Lalu apa seharusnya ada yang jual buku? Bisa saja harus ada yang mewakili kalaupun tidak ada berarti belum. Ya belum dijadikan sebagai sesuatu yang lebih bermakna untuk diperjual belikan pada moment yang nota benenya acara kaum intelektual apakah itu sebagai kado dari orang-orang tersayang mereka. Hari ini saya sengaja dan sudah diniatkan membawa kado (bahkan sudah saya biasakan memberi kado dengan buku, terutama kado pernikahan). Kadonya tidak sebuah souvenier yang akan jadi target debu jika dipajang atau bunga yang saya pun belum atau apa artinya pada momen seperti ini manfaatnya lebih jauh. Bagi saya buku jika dijadikan hadiah akan lebih memberi makna, manfaatnya jangka panjang. Misal jika kita memberi seseorang uang dua puluh ribu rupiah akan habis dalam beberapa menit bahkan detik saja. Namun saat kita memberi seseorang sebuah buku, katakanlah itu buku motivasi sukses berwirausaha misalnya, bisa saja buku yang kita berikan sangat bermanfaat dan membawa perubahan yang lebih baik baginya bahkan menjadi jalan suksesnya. Namun bukan berati hadiah lain tidak baik, bisa saja kita berikan buku plus souvenier bingkai photo. Kemudian, yang menjadi pertanyaan saya lagi, kira-kira dalam acara seperti wisuda ini berapa orangkah yang berinisiatif memberikan kado berupa buku? Di hari lahir seseorang apakah ada orang yang memberikan hadiah buku, seberapa sering atau berapa orang? Mungkin bisa dihitung jari atau malah sangat langka. Intinya kebiasaan dari sebagian orang dalam memberi kado adalah dalam bentuk benda yang kira-kira membuat seseorang yang diberikan akan senang, bahagia atau bahkan sebaliknya sesuatu yang mubazir, tapi masih jauh dari hal yang bermakna seperti halnya kado berbentuk buku, kaset ceramah dan VCD motivasi. Nah, dari hal-hal yang kita lihat dan alami selama ini sudah saatnya kita berupaya mengarahkan kebiasaan kita dalam berbagi kado ini pada hal yang lebih bermakna bahkan kita jadikan sebagai gaya hidup. Mulai saat ini “Say it with BOOKS” tidak selalu “Say it with Flower”. Tidak hanya dalam berbagi kado namun dalam semua aspek kehidupan kita. Membeli buku sebagai gaya hidup. Mengoleksi buku sebagai gaya hidup. Membuat pustaka pribadi sebagai gaya hidup. Menghibahkan buku sebagai gaya hidup. Membelikan anak atau teman buku sebagai gaya hidup. Meminjamkan buku sebagai gaya hidup. Dekat dengan buku sebagai gaya hidup. Menulis buku sebagai gaya hidup. Menjual buku sebagai hidup dan mengkampanyekan gaya hidup lebih bermakna dengan buku sebagai gaya hidup. We love BOOKS. We Love Reading.!!