Kamis, 19 Desember 2013

Penyelamat dari Allah Untukku!

Telaga Hikmah Kisah :
Aku mahasiswa Fakultas Hukum di Cairo University. Umurku dua puluh lima tahun. Saat itu aku masih kuliah d semester empat. Dengan umurku yang dua puluh lima tahun, dan aku masih duduk di semester empat; tentu itu adalah hal yang aneh. Namun, itulah yang akan aku ceritakan. Suatu saat, terjadi perpecahan (pertengkaran yang berbuntut pada perceraian) dalam keluargaku. Perpecahan itu tentu sangat mempengaruhiku secara pribadi. Perilaku ayahku sangat keras. Ibuku tidak ada di sampingku. Sosok ibu sangat berperan dalam kehidupan anak-anaknya. Sementara aku termasuk tipe anak yang bergantung pada sosok ibu. Ketidakbetahanku tinggal di rumah dan masalah-masalah yang selalu mengekoriku menjadikanku berontak dan pergi meninggalkan rumah. Aku melewati hari-hariku dengan penuh pemberontakan dan keterasingan yang sangat dalam. Aku tidak punya tempat tinggal dan uang untuk kubelanjakan. Seluruh hidupku dalam pemberontakan yang sebenarnya, hingga aku tidur di jalanan dan di taman-taman. Aku hadapi semuanya untuk menemukan jati diriku; untuk menemukan hidup yang lain selain hidup yang aku jalani, yaitu hidup dalam pemberontakan dari rumah dan keluarga. Aku mengidap penyakit radang paru-paru kerena sering berada di jalanan. Aku berusaha untuk bunuh diri dengan obat yang telah diberikan dokter kepadaku. Aku menelan empat puluh butir obat sekaligus. Sebenarnya, itu sudah cukup untuk mencabut nyawaku, tetapi ternyata aku tidak kunjung mati. Sangat disayangkan, saat itu aku tidak dekat kepada Allah ataupun mengenal-Nya. Aku mulai kecanduan obat-obatan terlarang dan minuman keras. Itulah kesalahan yang banyak dijadikan tempat bergantung sebagian besar anak muda saat ini. Saat di mana ia tidak menemukan jati dirinya dan tidak juga menemukan seseorang untuk menjadi tempat berbagi. Pada saat itulah ia akan bergantun pada sesuatu yang menjauhkan akalnya dari berpikir tentang hidup yang dijalaninya. Saat aku mulai bekerja, aku bisa memenuhi semua kebutuhanku. Harta begitu mudah kudapatkan. Itulah yang menyebabkanku semakin terpuruk dalam kesesatan dan keterasingan. Aku tidak menghadapkan diriku untuk sesuatu yang menantang. Cukuplah bagiku tetap duduk kuliah di semester empat hingga sekarang; terlampat empat tahun dari teman-teman seangkatanku. Aku mempunyai tanggung jawab, tidak pula memperoleh kedudukan terhormat dalam masyarakat. Aku berusaha memperbaiki hidupku dengan berbagai cara. Namun, saat itu aku jauh dari Allah, hingga aku pun tidak bisa memperbaiki hal sekecil apapun dalam hidupku. Aku mulai kecanduan. Obat-obatan (narkoba) telah menjadi kebutuhanku sehari-hari, bahkan narkoba lebih aku butuhkan daripada makanan, minuman dan hidup itu sendiri. Akhirnya, Allah pun menirimkan penyelamat untukku. Salah seorang temankku mengajakku untuk melaksanakan syalat Isya’ di sebuah Masjid. Sebenarnya, aku tidak ingin ikut shalat bersamanya. Aku berusaha menolak dan meminta maaf padanya. Namun, jika Allah SWT berkehendak, ia cukup mengatakan “Jadilah,” maka terjadilah. Tidak ada seorang pun yang bisa mengubah tetentuan-Nya. Itulah langkah awal yang membuatku dekat kepada Allah. Aku memasuki masjid, shalat Isya’ dan mendengarkan ceramah. Segala yang pernah kulakukan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jiwaku. Aku mulai mengintrospeksi diri dan mulai memperbaiki kehidupanku. Aku rajin mengikuti pengajian dan ceramah-ceramah agama, serta mendirikan shalat secara rutin. Aku melihat dan merasakan bagaimana manusia bisa beristirahat dengan tenang dan berbahagia saat berdekatan dengan Allah SWT, selalu berada dalam ikatan dan ketaatan kepada-Nya. Aku pernah gagal dalam usahaku memperbaiki diri itu. Salah seorang teman lamaku kembali mengajakku minum minuman keras dan memakai obat-obatan terlarang. Aku mengikutinya. Aku kembali terjerumus dalam dosa-dosa. Akan tetapi, tiba-iba aku menjadi tersadar kembali. Ketika aku hendak pergi ke masjid, aku merasa seolah Allah tidak akan menerimaku lagi, serta tidak mengizinkan memasuki masjid. Detik itulah, aku berjanji untuk tidak kembali mengulang maksiat-maksiatku kepada Allah. Aku berjanji tidak akan mendengarkan perkataan-perkataan yang dapat menyebabkan aku kembali pada minuman keras dan obat-obatan terlarang. Aku sadar bahwa hukuman Allah sangatlah dekat waktunya. Aku menganggap diriku adalah orang yang paling bahagia. Hari-hariku menjadi indah sejak aku bertaubat dan kembali kepada Allah SWT. Aku tidak menghitung hari-hari yang berlalu dariku, karena sebenarnya aku telah menggantinya. Saya bertanya kepada pemuda itu, “bagaimana Anda bisa sembuh dari kecanduan obat-obatan?” Jawabannya pasti, “Pengobatan dari Allah.” Aku beri’tikaf (menetap di masjid sambil beribadah dan berzikir) selama tiga puluh hari lamanya. Dalam i’tikaf itu, aku mengalami hal-hal yang sangat aneh. Pada sepuluh hari pertama, aku selalu pergi ke kamar mandi. Seolah obat-obatan itu keluar dari tubuhku. Selama ini, aku tidak pernah mendapati seorang pun yang berobat dengan cara seperti itu. Seakan-akan Allah mengatakan kepadaku, “Kamu bersamaku, Aku akan mengobatimu dengan cara yang sama sekali tidak akan menyebabkan kamu merasa letih dan susah, dan kamu tidak akan kesulitan –walaupun kamu telah menderita kecanduan– untuk menjauhinya, baik dari segi jasmani maupun rohani”. Allah SWT telah memuliakanku, saat aku berada di rumah-Nya. Alhamdulillah. Setelah kembali dari pergolakan yang panjang, aku mulai menyayangi keluargaku. Aku mulai meminta restu dari mereka dan tidak lebih. Aku tidak memikirkan materi sebanyak pikiranku pada agama. Aku berpikir dan telah mendapati bahwa yang terpenting dalam hidupku adalah beribadah kepada Allah saja dan berbakti kepada orang tua serta mendapat restunya. Seandainya aku taat kepada Allah, sedangkan orang tuaku masih belum ridha kepadaku, aku merasa seolah aku tidak berbuat ketaatan sama sekali, atau ketaatanku akan sia-sia belaka. Sari hikmah : Setetes air mata seorang ibu dan amarah seorang ayah dalam ukuran kejahatan boleh jadi sama kadarnya dengan kejahatan kita selama setahun lamanya. Terkadang kita tidak mampu membayangkan hal tersebut. Pemuda yang setiap tahun mengalami kegagalan dalam kuliahnya tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana kesedihan yang dirasakan ayah dan ibunya. Padahal, itu adalah maksiat pertama yang tidak ada akhirnya. Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati. Jika orang tua Anda meninggal dunia dalam keadaan marah kepada Anda, sudah pasti Anda akan hidup dalam kesengsaraan dan keputusasaan. Hanya Allah saja yang mengetahui, apakah Dia akan menerima taubat Anda atau tidak? (Dari Buku MENCARI HATI YANG HILANG, KARYA; Ust. Tajuddin Nur, Lc & Muklisin Raya TM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar