Senin, 07 Juli 2014

Di Manakah Hatiku?

“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” (HR. Bukhari).
Pernahkah kita merenungi jika kita tidak memiliki hati?
Banyak manusia yang tidak menyadari bahwa hati mereka hilang (kotor dan rusak). Dan seolah-olah manusia semuanya memiliki hati, tapi sesungguhnya tidak sedikit dari manusia yang tidak memiliki hati lagi, yaitu rusaknya fungsi hati atau bahkan hilang dari fungsi fitrahnya. Apa yang akan terjadi jika manusia tidak memiliki hati? “....dan apabila dia (hati) rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya.” Itulah inti pesan Rasulullah bahwa jika hati manusia itu rusak atau bahkan hilang, maka hilanglah kendali dan rusaklah segala perbuatannya.
Lalu di mana hati kita?
Bisa jadi hati kita hilang terseret arus kecintaan terhadap dunia (bermegah-megahan yang melalaikan), terjerumus dalam lembah nafsu syahwat, maksiat, mengikuti langkah setan, dan dibawa lari oleh dosa-dosa kita.
Allah SWT berfirman, yang artinya; “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),....(QS. At-Takasur: 1-3, silahkan baca hingga akhir ayat).
Saudaraku, lebih dalam lagi, sungguh cinta kepada Allah dan dunia tidak akan pernah menyatu dalam satu hati, berikut hadits qudsi menjelaskan hal tersebut, yang artinya;
“Wahai anak Adam, sesuai dengan kecondongan hatimu kepada dunia, keluarkanlah kecintaan kepada-Ku darimu. Sebab, sesungguhnya Aku tidak menghimpun cinta-Ku dan cinta dunia dalam satu hati selamanya. Curahkanlah (hatimu) untuk menyembah-Ku dan bersihkanlah amalmu darinya sehingga Aku memakaikan  (pakaian) kecintaan-Ku. Datanglah kepada-Ku dan curahkanlah segenap tenaga, pikiran, dan waktumu untuk berzikir kepada-Ku, niscaya Aku akan menyebutmu di hadapan para Malaikat-Ku.” (Kalimatullah Asy-Syirazi).
Kemudian, apa tandanya seseorang itu tidak punya hati?
Tidak sedikit manusia yang suka mengerjakan apa yang dilarang Allah, dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya.
Hilangnya fungsi hati untuk merasakan manisnya iman, manisnya ibadah, lalai, tidak tersentuhnya hati saat melihat saudara kita yang kesusahan (fakir), tidak tergeraknya hati saat mendengarkan seruan Allah (adzan) atau tidak bergetarnya hati mendengar ayat-ayat-Nya. Allah berfirman, yang artinya;
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka apabila disebut nama Allah gemetarlah hatinya, dan apa bila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambahlah (kuat) imannya hanya kepada Rabb mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal : 2)
Jadi, bisakah hati bergetar jika hati sendiri tidak ada lagi dalam diri seseorang?
 Karena hati kita hilang fungsinya untuk merasakan manisnya iman jika kecintaan kita lebih besar terhadap dunia dan isinya, sementara itu hanya hati yang cinta kepada Allah  dan Rasul-Nya lah yang bisa merasakan manisnya iman tersebut.
          Rasulullah SAW, yang artinya;
 “Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam dirinya ketiga perkara itu, dia pasti merasakan manisnya iman; yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari pada yang lain, mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah, dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan dari dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu, sebaliknya jika seseorang telah kehilangan hati, maka ia cenderung melakukan hal-hal yang dilarang, kemungkaran, memakan hak orang lain, indah terasa hal-hal yang dilarang oleh agama.
Mengapa ada manusia yang merampas hak orang lain dengan paksa? Karena hati mereka telah hilang! Mengapa ada manusia yang durhaka pada Allah dan kedua orang tua? Karena hati mereka telah hilang! Mengapa ada orang yang tidak malu melakukan zina? Karena hati mereka telah hilang! Mengapa ada manusia yang mengambil hak orang lain? Karena hatinya telah hilang?
Mereka mungkin tetap memiliki bongkahannya (fisik), tapi hilang nilai dan fungsi dari hati tersebut. Mungkin secara fisik hati mereka tetap ada, tapi secara batin, ruh dan fungsinya hilang. Itulah hati yang mati.
Saudaraku, semoga Allah yang Maha membolak-balikan hati menjaga hati kita dan memberikan hati yang bersinar terang.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya;
“Hati itu ada empat macam: (1) hati yang bersih dan bersinar bagaikan lampu; itulah hati orang mukmin, (2) hati yang hitam (terbalik dari fitrahnya); itulah hati orang kafir, (3) hati yang terbungkus rapat (sulit menerima hidayah); itulah hati orang munafik, (4) hati yang berisikan campuran antara iman dan kemunafikan.” (HR. Imam Ahmad).
            Agar hati kita kembali dan hidup, bersinar, berjalanlah menuju pintu gerbang-Nya, kita harus membersihkan hati terlebih dahulu.

Mengapa kita harus membersihkan hati?
            Tidak bisa kita pungkiri bahwa letak kebahagiaan itu di hati. Tentunya hati yang selalu bersih dan hidup (masih ada hati), bahkan itulah sumber kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang sudah kita singgung bahwa tidak sedikit orang yang tidak menyadari kondisi hatinya yang bisa jadi tengah sekarat, mati lalu hilang.
Tidak jarang ada juga sebagian orang yang ingin hatinya hidup dan kembali, justru menempuh jalan keliru (misalnya bertamasya di pantai, ke tempat rekreasi, apalagi tempat hiburan yang mengundang maksiat).
Maka yang harus kita perjuangkan adalah membersihkan hati kita. Sebab, sungguh sangat menawan dan indah jika kita mendapatkan kembali hati, jiwa yang bersih dan memiliki qolbun salim (hati yang selamat).
            Mari kita berbicara hati dengan hati kita. Sungguh hati adalah sentral kebahagiaan anak Adam (manusia). Maka, jika hati manusia dipenuhi cahaya hidayah, keimanan sesuai dengan jalan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia akan menuai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam bukunya Jangan Asal Dzikir, Abdul Rosul mengatakan, “Manakala hati itu merupakan tempat cinta dan wadah kerinduan (kepada Allah), maka ia harus disucikan agar ia layak menerima sang Kekasih dan ia harus bebas dari segala ketergantungan kepada selain Allah.”
Dengan kata lain, sebaliknya bagi yang berpaling dari jalan Allah dan mengikuti langkah lain yang dipandu setan dan syahwat, maka lambat laun hatinya akan dipenuhi keresahan, kegelisahan dan kesengsaraan (rusak) di dunia dan tentunya lebih-lebih di akhirat.
Ibn ‘Athaillah berkata, “Takutlah bahwa bila kebaikan Allah selalu engkau peroleh pada saat engkau berbuat maksiat kepada-Nya, lambat laut itu akan menghancurkanmu.”
            Jika kita umpamakan hati seperti sebuah rumah yang lengkap dengan pintu, jendela, ventilasi dan yang lainnya. Jika pintu dan jendela tidak dijaga dengan baik dan ketat, tidak dilengkapi dengan kunci atau terali, maka bisa diperkirakan akan mudah dibobol para pencuri.
Dengan kata lain pintu dan jendela adalah mata, telinga dan seluruh anggota badan. Sementara para pencurinya adalah setan, nafsu syahwat dan antek-anteknya.
Ada juga yang mengibaratkan bahwa hati adalah raja ataupun kerajaan dalam tubuh manusia. Raja Ali Haji menuliskan hal tersebut dalam Gurindam Dua Belas nya, “Hati itu kerajaan di dalam tubuh. Jikalau zalim segala anggota pun rubuh.”
Jadi, jika hati kita sebagai raja, maka anggota tubuh yang lainnya adalah rakyatnya. Oleh karena itu, jika rajanya rusak (hati kotor), maka sudah bisa diperkirakan rakyatnya tidak jauh berbeda. Begitulah jika hati kita kotor, hilang dari fungsi aslinya untuk bisa merasakan dan menilai kebenaran, maka niat dan perbuatan kita akan sia-sia.
            Pada awalnya hati kita hidup (ada). Namun hidup ini adalah perjalan dan sebuah proses, maka akan ada-ada saja manusia yang akan mengalami terkegelinciran dengan hal-hal yang dilarang agama. Maka, jika hati tidak dijaga dari kejadian dan kasus seperti ini, hati kita akan mudah terjangkit virus, penyakit hingga sekarat atau bahkan mati (hilang).
            Dalam hal ini Syaikul Islam mengatakan, “Penyakit hati adalah jenis kerusakan. Menjadi penyebab kerusakan pemikiran dan keinginan. Kerusakan pemikiran karena adanya berbagai syubat (kesamaran) sehingga tidak bisa melihat kebenaran, tapi tampak berbeda dengan yang seharusnya. Sedangkan keinginan adalah membenci kebenaran dan menyukai kebatilan.”
            Maka dari itu, kita wajib membersihkan diri dari hal syubat dan syahwat. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa kebersihan itu meliputi jiwa, hati, badan dan harta. Yang sangat mendasar lagi adalah kebersihan hati merupakan nilai penting dan utama sebelum melangkah ke hal lainnya.
Kita harus mengetahui apa pentingnya sehingga kita harus membersihkan hati? Berikut alasan-alasan syar’i diantara pentingnya kita membersihkan dan menemukan kembali fungsi hati yang telah kotor, rusak bahkan hilang, adalah sbb:

1. Karena amalan yang lahiriah tidak akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan niat yang ikhlas. Niat adalah perbuatan hati, sangat sulit diharapkan niat ikhlas lahir dari hati yang kotor berlumur dosa (hilang fungsinya). Allah berfirman, yang artinya;
     “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...(QS. Al-Bayyinah : 5)
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya;
     “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk mengharap wajah-Nya.” (dalam kitab Sunan al-Nasai kitab Al-Jihad no. 3089).
2. Hati merupakan hakikat menusia itu sendiri, dan sekaligus wadah, cermin, gambaran dan penilai kebaikan dan kerusakannya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, yang artinya;
     “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” (HR. Bukhari).
Kemudian hati menjadi sentral utama “pandangan” Allah, maka perbuatan yang dilakukan dengan hati yang ikhlaslah yang dinilai oleh Allah. Dia hanya melihat hati hamba-Nya, jika hatinya bersih dan niatnya ikhlas, maka amalanya akan diterima, bila hatinya kotor (tidak benar niatnya), secara sendirinya amalan tersebut tidak diterima-Nya. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya;
     “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan hartamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kamu.” (HR. Muslim).
3.  Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’adi mengatakan bahwa keselamatan  di akhirat hanya tercapai oleh orang-orang yang hatinya bersih dari menyekutukan Allah, syubat dan syahwat, kemunafikan dan berbagai penyakit hati lainnya yang sangat berbahaya. Orang yang hatinya bersih menggantungkan diri hanya pada Allah SWT. Allah berfirman, yang artinya;
     “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dabangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara : 87-89).
Maka keselamatan di akhirat dari segala kehinaan, aib hanya akan diberikan kepada orang yang datang kepada Rabbnya denga hati yang bersih. Surga itu diberikan kepada orang-orang yang hatinya pasrah. Allah berfirman, yang artinya;
     “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan penuh keridhaam-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS. Al-Fajar : 27-30).
Secara umum hal-hal ini menjadi acuan mengapa kita harus selalu berusaha untuk membersihkan hati dan mencari kembali hati kita yang telah hilang (fungsinya).
     Ya Allah, jadikanlah dunia dalam genggaman tanganku. Jangan jadikan dunia di dalam hatiku.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar