Oleh Muklisin Al-Bonai
Tragedi memilukan adalah ungkapan yang perih atas kejadian telah menyebabkan kematian ketua DPRD SUMUT. Pada hari selasa, 03 Februari 2008 di Sumetera Utara ratusan masa menyerbu kantor DPRD. Masa menuntut pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan. Fenomena ini sangat hangat dan menyita perhatian publik.
Jika melihat peristiwa yang tragis ini, ada persepsi yang kurang baik dan masih tersimpan di memori publik dalam proses penyampaian aspirasi kepada pemerintah maupun wakil rakyat. Dan bahkan pada saat ini, hampir di semua lini lembaga, instansi maupun swasta telah menggunkan ‘senjata demonstarsi’ sebagai alat yang ampuh dalam mempercepat bisa diproses atau diterimanya suatu aspirasi atau idealisme yang diangkat oleh publik.
Sejak meletusnya pertama kali dalam skala yang besar pada peristiwa trisakti 12 Mei 1998, demonstrsi ‘cukup akrab’ bagi publik dalam pemecahan masalah yang dianggap kurang mendapat dukungan oleh pemerintah atau wakil rakyat. Persepsi munggunakan kebebasan berpendapat inilah yang dibawa oleh publik dalam menyelesaikan suatu masalah dari kelurahan hingga kepada pemerintahan yang tertinggi sekalipun.
Demikian juga atas kasus kematian Ketua DPRD SU, H Abdul Aziz Angkat, Selasa, 03 Februari 2009, yang disebabkan oleh tindakan brutal dan anarkis yang dilakukan demonstran pendukung pembentukan provinsi Tapanuli, ini menyisakan banyak pertanyaan di kalangan publik luas. Banyak di antara mereka yang memberikan penilaian bahwa hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pihak polisi dan pengamanan mampu memberikan pengamanan yang cukup.
Nasi sudah jadi bubur. Inilah ungkapan yang paling tepat dan juga selalu saja penyesalan itu datangnya terakhir. Saatnya bukan untuk saling menyalahkan. Namun, bagaiman seharusnya menyikapi suatu peristiwa dengan lebih bijak. Peristiwa ‘kebebasan’ mengeluarkan pendapat yang akhirnya ‘kebablasan’ ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, bahkan sudah ratusan kali. Begitu banyak menyisakan goresan-goresan sejarah baik yang menimbulkan perubahan maupun puing-puing kepiluan yang mendalam.
Hingga tanggal 09 Ferbruari 2009 telah ditetapkan 36 tersangka oleh kapolres kota Medan. Para demontrasi ternyata banyak melibatkan para mahasiswa perguruan tinggi. Para mahasiswa mengaku diajak oleh ketua BEM dan diiming-imingkan uang rokok dan makan sejumlah Rp.25000 per orang.
Peristiwa anarkisme yang dilakukan demi tegaknya suatu idealisme bagi kepentingan golongan tertentu. Umumnya telah banyak kita saksikan bahwa para demonstran tidak lagi murni dalam menyampaikan pokok aspirasi dan idealisme dan pada akhirnya hanya menyisakan bekas anarkisme di kacamata publik. Salah satunya adalah para demonstran yang tercatat sebagai mahasiswa perguruan tinggi yang melakukan orasi atau demonstrasi yang terjadi baru-baru ini.
Citra yang cukup negatif bagi kalangan mahasiswa telah ‘tercium baunya’ oleh publik. Salah satu contohnya yang pernah diberitakan oleh Republika di Jakarta buntut penyerbuan kampus Universitas Nasional (Unas) oleh polisi, hingga mengakibatkan seorang polisi lalu lintas (lalin) di perempatan Republika, Pejaten, Jakarta Selatan dikeroyok oleh mahasiswa. Polisi tersebut babak belur. Peristiwa brutal itu disaksikan seorang tukang ojek yang biasa mangkal di dekat kantor Republika, Jakarta, Sabtu (24/5/2008).
Peristiwa ini hanya sebagian kecil yang ditangkap oleh kaca mata publik dan masih banyak lagi demontsrasi yang berbuntut anarkis yang dilakukan oleh masyarakat maupun kalangan intelektual perguruan tinggi. Jika kita lihat dari kaca mata yang berbeda, tentunnya ada hal positif dengan menggunakan ‘demo’ dalam penyampaian aspirasi rakyat kepada pemerintahan jika proses itu masih dalam keadaan damai dan sesuai dengan prosedur. Namun beberapa dekade terakhir lebih terlihat dari kaca mata yang cukup negatif bahwa demonstarsi lebih cenderung ke arah anarkisme ketimbang idealisme.
Yang jelas, mahasiswa sepertinya tidak dapat dipisahkan dengan kata-kata idealisme dan demonstrasi atau anarkisme. Menurut Syaiful Misgiono pimpinan umum tabloid Gagasan UIN SUKSA bahwa mahasiswa identik dengan domonstran, cendikiawan muda, agen perubahan, stok bagi pemimpin bangsa dan juga kaum intelektual. Namun, dengan seringnya mahsiswa turun ke jalan dalam menyampaikan aspirasi baik itu mengatasnamakan rakyat atau kelompok telah meninggalkan image tersendiri bagi publik. Jika disebut tentang mahsiswa yang selalu ingat adalah ‘demo’ ataupun yang negatifnya kerusuhan yang dilakuan oleh sebgian kalangan mahasiswa tertentu, namun semua mahasiswa juga disebut.
Untuk saat ini, dilihat dari fakta dan realita dari dampak demonstasi yang pada awalnya dalam rangka menyalurkan aspirasi dan idealisme, namun lebih banyak menyisakan anarkisme. Niat baik jika tidak dilakukan dengan cara yang tidak baik tidak akan menghasilkan perkara yang baik. Bagitu juga dengan aksi para demonstran yang dilakukan di depan kantor DPRD SU yang akhirnya merenggut nyawa salah seorang wakil rakyat yang dahulu dipilih untuk kepentingan rakyat.
Lain lagi dengan aksi demo anarkis di bebarpa tempat umum yang akhirnya merusak insfrastruktur, kantor pemerintah yang dibangun dengan dana rakyat juga, universitas tidak sedikit yang rusak, kemacetan di jalan raya akibat aksi demo, mandeknya rutinitas kerja, liburnya sekolah, waktu-waktu dibuang percuma, telah banyak kerugian materi yang ditimbulkan bahkan tidak sedikit yang meregut korban jiwa, baik dari kalangan para demonstran maupun pihak kemanan. Ini bisa kita lihat lagi dari peristiwa aksi demonstrasi besar-besar pada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 telah menyebabkan korban dari kalangan mahasiswa dan juga baru-baru ini telah meregut nyawa seorang ketua DPRD SU yang seharus menjadi tempat menyampaikan aspirasi sebagai wakil rakyat yang dipilih dan dipercaya.
Jika kita harus bertanya, inikah proses demokrasi? Kebebasan bersuara yang telah menjadi dalih menghalalkan segala cara. Demokrasi saat ini identik dengan anarki. Peristiwa di Medan itu adalah salah satu bentuk demokrasi yang keliru. Peristiwa ini hanya bentuk akumulasi beberapa dekade tentang citra demokrasi bangsa ini. Demokrasi hanyalah proses, bukanlah segala-galanya hingga menjadi dalih menghalalkan segala cara. Jika diperhatikan, roh demokrasi kita pada saat ini mengalami mati suri disebabkan beberapa kasus terakhir, khususnya kasus anarki di Medan. Seolah-olah dengan mengusung demokrasi bisa menghalalkan segala cara.
Peristiwa demi peristiwa yang memilukan dan memalukan lembaga negara tidak sepenuh kesalahan para demonstran atau pihak keamanan. Namun, ini menjadi pelajaran dan bisa membuka cakrawa berpikir sebagai warga negara yang baik harus memperhitungkan cara-cara yang lebih baik dan arif dalam menyampaikan kehendak bukan melakukan sesuatu menurut kehendak masing-masing. Kita satu bangsa untuk saling menjaga. Kita bisa lebih maju dan berjaya dalam tata krama dan sikap menghargai sesama yang tinggi. Idealisme harus tetap kita perjuangkan, tapi bukan mengundang timbulnya anarkisme yang menyebabkan kerugian materi maupun korban jiwa.
Cukuplah peristiwa trisakti 12 Mei 1998 yang memilukan dan merupakan salah satu pelanggrana HAM yang terbesar disepanjang catatan sejarah bangsa kita dalam roda perubahan dan reformasi. Sudah menjadi pelajaran yang berharga peristiwa perang saudara yang menggunkan ‘sejata demonstrasi’ memerangi pihak yang tidak satu ide atau yang tidak memenuhi aspirasi. Dari peristiwa itu telah menyita waktu, menyita tangisan dan kerugian serta meninggalkan bekas citra yang negatif bagi para demonstran baik itu masyarakat umum maupun kaum intelektual yang seharusnya lebih bisa damai dalam bersikap dan bertindak.
Cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa yang dilakukan para demonstran pada tanggal 03/02/09 di kantor DPRD SU sehingga menyebabkan salah seorang wakil rakyat menjadi korban atas aksi brutal tersebut dan juga rusaknya infrastruktur. Terlebih lagi, para demonstran juga mengdapat bagian dari tindak-tanduknya dalam peristiwa tersebut dijerat dengan pasal yang berlapis-lapis, dan tentunya jeruji besi.
Mahasiswa Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA Riau. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Cab. Pekanbaru. muksbonai@gmail.com. www.freewebs.com/cintabaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar