Pernahkan kita hidup tanpa masalah sekalipun? Itu hal yang mustahil, hidup ini adalah ujian dan masalah silih berganti selagi malam dan siang bekerjasama dalam menjalani titah Allah. Setiap manusia pernah diterpa badai ujian kehidupan, namun kita harus bijak dalam menyikapinya. Kadang kita mengira masalah kita yang paling berat, musibah kita yang paling dahsyat, tanpa memandang kepada saudara kita yang lain yang lebih besar masalah dan musibah yang mereka hadapi. Kelapangan hati dan dada serta berjiwa besar ketika dirundung masalah dan mengambil hikmah dari kejadian yang merupakan rahasia Allah adalah jalan keluar. Hingga masalah yang melanda tidak membuat hidup mandek dan kehilangan kendali, pada akhirnya malas berusaha adalah jalan pintas yang mematikan kreatifitas. Mari renungi kisah bijak berikut ini.
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu, memang seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya.
Pak tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..,” ujar Pak Tua.
“Pahit. Pahit sekali,” jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan air itu.
“Coba ambil air telaga ini, dan minumlah. “Saat tamu itu selesai mereguka air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?” “Segar,” sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu? Tanya Pak Tua lagi. “Tidak,” jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda.
Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.”
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan hidup, hanya satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. luaskan hatimu untuk menampung semua kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu, adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan membuatnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”